Di Musim Peceklik di Kampung, Banyak Janda Menjadi Jablai di Ibukota

CIREBON, MR
Memberikan penghidupan yang layak kepada keluarga, jelas menjadi sebuah tujuan. Dan untuk mewujudkan itu tentu saja harus melalui proses yakni adanya sarana dalam hal ini pekerjaan. Lalu bagaimana untuk mendapat pekerjaan yang diiinginkan sedangkan kemampuan pendidikan masih sangat terbatas terlebih bagi mereka yang tidak mengenyam pendidikan. Terutama bagi kalangan janda-janda?

Berada pada kondisi yang demikian, jawabannya mudah ditebak, orang akan melakukan apapun untuk memperoleh pekerjaan itu, tak peduli bentuk pekerjaan yang dilakoni, dan tak terkecuali jika harus pergi ke ibukota hanya untuk sekedar menjadi jablai. Karena yang terpenting keluarga mereka bisa makan dan tidak kelaparan.
Bicara jablai yang berada di ibokota, tentu telinga kita tidak asing dengan keberadaan pantura dalam hal ini wilayah III Cirebon, Kobapaten Cirebon, Indramyu,Kuningan dan Majalengka. Karena konon banyak gadis atau mantan gadis alias janda yang “berkeliaran” di dunia malam Jakarta

Dan disaat musim paceklik sekarang ini, dimana masuknya musik kekeringan, tak sedikit perempuan-perempuan asal wilayah Cirebon yang mencoba peruntungan di Jakarta . Mereka memberanikan diri bergelut dengan keramaian dan keremangan dengan satu tujuan tentunya, memberikan pengidupan kepada keluarga yang ditinggalkan.
Kecamatan Losari, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat ini misalnya, di daerah yang berbatasan dengan Jawa Tengah ini sudah menjadi rahasia umum jika banyak perempuan yang bekerja di Jakarta sebagai jablai.

Kebanyakan mereka yang terpaksa merantau mengais rupiah itu berasal dari keluarga buruh tani, baik itu yang diladang pertanian bawang atau petani tanaman padi. Dan kekeringan yang melanda kini jelas membuat mereka kehilangan mata pencaharian karena pemilik lahan jarang menggunakan jasa mereka.

Ratna misalnya, sejak ditinggal mati suaminya dua tahun lalu. Dia pergi ke Jakarta diajak kenalannya dan kini masih berada di Jakarta . Awalnya dia hanya diberi pekerjaan jaga-jaga warung nasi. Lama kelamaan pergaulan membuat dia “terpanggil” mencari tambahan penghasilan hingga akhirnya dia pun coba-coba meladeni ketika ada order yang mampir kepadanya.

Apa yang dilakukan Ratna tersebut merupakan satu dari sekian banyak janda-janda yang mencoba mencari peruntungan di rana ibukota Jakarta . Namun menurut Sumiati, salah seorang pemilik warung makan di daerah Losari, kabupaten Cirebon, untuk pergi ke Jakarta apalagi menjadi wanita penghibur jelas gampang-gampang susah. “Apalagi kalau uang pergi itu orang baru,” kata Sumiati.

Sumiati menyebut nama Bunga (bukan nama sebenarnya, red), tetangganya yang juga berstatus janda beranak dua kini enjoy berada di Jakarta . Dia nekat pergi karena mencari pekerjaan di desanya sangat sulit apalagi memasuki musim-musim paceklik. Bunga awalnya juga tidak tahu kehidupan Jakarta, dia pergi karena diajak seorang laki-laki yang memang terbiasa memberikan “pekerjaan” kepada perempuan-perempuan desa yang ingin “sukses”. Artinya bagi mereka yang akan pergi tentu harus mempunyai koneksi atau ada “senior” yang nantinya bisa menuntun mereka menyelami dunia malam ibukota. “Sekarang saya belum tahu lagi kabar-nya, tapi menurut para tetangganya, Bunga tiap bulan mengirimkan uang untuk biaya anaknya,” ungkap Sumiati lagi.

Kerap gentayangannya “mucikari” jalanan mencari perempuan yang bisa diajak “hijrah”, juga diyakini sebagai pemicu niat kalangan perempuan untuk pergi memperbaiki nasib. Keberadaan “mucikari” ini memang terselubung, karena modus yang digunakan tidak terbuka melainkan melakukan pendekatan kepada keluarga perempuan yang bakal diajak mereka. Tak heran jika kemudian dengan jerat iming-iming kesuksesan materi tidak sedikit janda dan perempuan yang tergelncir dan masuk dalam dunia hitam, terlebih pada musim paceklik sekarang ini.@MOCH.MANSUR