Orangtua siswa sengaja berada pada kondisi tidak ada pilihan, pasalnya buku-buku yang dianjurkan tersebut memang tidak ada dipasarkan. Artinya, penerbit memang melakukan simbiosis mutualisme dengan tidak menjualnya ke took-toko buku.
“Karena tidak tersedia dipasanan, akhirnya orangtua siswa ’terpaksa’ membeli buku di sekolah tersebut dengan harga jauh lebih tinggi dipasaran,” kata Azhar ketua aksi.
Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Kota Cirebon Dedi Widyagiri yang menemui mahasiswa menjelaskan, dirinya tidak pernah idatangi oleh penerbit manapun terkait dengan peredaran buku-buku di sejumlah sekolah. “Saya tidak pernah didatangi penerbit, atau memberikan rekomendasi kepada sekolah untuk membeli produk buku dari satu penerbut,” tegasnya.
Sementara itu Walikota Cirebon Subardi, mengaku prihatin jika memang ada ”mafis penjaualn buku” disejumlah sekolah sebagaimana diributkan akhir-akhirnya. Dirinya menyadari anggaran BOS memang masih angat kecil. Yakni hanya Rp 11.000 persiswa pertahun. Sedangkan harga satu buku saja sudah dua kali lipat dari alokasi BOS tersebut.
“Saya akan mencoba mencari solusi mengenai persoalan buku mata pelajaran yang saat ini memang menjadi momok menakutkan bagi orangtua siswa,” tandasnya.
Ketika ditanya mengenai sanksi terhadap guru atau pihak yang melakukan penjualan buku, Subardi tidak memberikan pernyataan yang tegas, “Kami akan meminta penjelasan dari Dinas Pendidikan,” tuturnya.@ moch. mansur